Minggu, 23 November 2014

Kritik Poskolonial



KATA PENGANTAR


Bismillahirrohmanirrohim,
Assalamu’alaikumWr. Wb.
Puji beserta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Na sehingga tersusunlah makalah ini. Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga tersusunlah makalah ini. Yang mana kami memberikan judul pada makalah ini “Kritik Postkolonial dalam Novel Siti Rayati”. Yang disusunnya makalah ini untuk lebih jelas lagi menerangkan tentang apa itu kritik postkolonial dan penerapannya.
Tidak lupa juga penyusun ingin mengucapkan maaf apabila dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan dan terdapat kata-kata yang tidak dipahami oleh pembaca, mohon dimaklum.
Terima kasih

Wassalamu’alaikumWr. Wb.

Jatinangor, Oktober 2014


Penyusun



Daftar Isi












Bab I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

            Penulisan makalah ini berdasarkan atas tugas Mata Kuliah Teori Sastra. Selain itu untuk menambah wawasan bagi para mahasiswa yang ingin mengkaji tentang sastra dan kesusastraan khususnya sastra yang ada di tatar sunda ini.
            Makalah tentang Kritik postkolonial ini sangatlah penting untuk dikaji bagi para mahasiswa yang ingin memperdalam dan mengkaji lebih jauh lagi tentang sastra yang setelah dan bahkan sedang adanya kolonial.
            Kritik poskolonial muncul sebagai kategori yang berbeda baru pada tahu 1990an. Kritik poskolonial memperoleh ketenarannya melalui pengaruh buku-buku seperti : In Other World (Gayatri Spivak, 1987), The Empire Writes Back (Bill Ashcroft, 1989), Nation and Narration (Homi Bhabha, 1990) dan Culture and Imperialism (Edward Said, 1993).
            Menurut Alfian teori poskolonial ini juga merupakan suatu teori kritis yang coba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme.

1.2 Rumusan Masalah

a.       Apa itu kritik poskolonial?
b.      Bagaimana perkembangan kritik poskolonial?
c.       Hal apa saja yang dilakukan oleh kritikus poskolonial?
d.      Bagaimana sinopsis novel Siti Rayati?
e.       Dibagian mana adanya pendekatan poskolonial dalam novel Siti Rayati?







1.3 Tujuan Perumusan Makalah

a.       Sebagai tugas mata kuliah Teori Sastra.
b.      Untuk mengetahui bagaimana kritik poskolonial dalam dunia sastra.
c.       Untuk mengetahui lebih luas lagi bagaimana kritik poskolonial dalam novel Siti Rayati.

1.4 Kerangka Teori

            Kritik poskolonial muncul sebagai kategori yang berbeda baru pada tahun 1990an. Misalnya saja kritik poskolonial tidak disebutkan di edisi pertama A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory-nya Selden (1985) atau A Concise Glossary of Contemporary Literari Theory-nya Jeremy Hawthorn (1992). Kritik poskolonial memeroleh ketenaran melalui pengaruh buku-buku seperti : In Other World (Gayatri Spivak, 1987), The Empire Writes Back (Bill Ashcroft, 1989), Nation and Narration (Homi Bhabha, 1990), dan Culture and Imperialism (Edward Said, 1993).
            Efek penting dari kritik poskolonial adalah lebih lanjut merongrong pernyataan universal yang dulu dibuat atas nama sastra oleh kritikus humanis liberal. Jika kita menyatakan bahwa sastra besar memiliki makna yang tanpa batas waktu dan universal, maka kita menurunkan kedudukan dan mengabaikan perbedaan kultural, social, regional, dan nasional dalam hal pengalaman dan pemandangan. Sehingga kita lebih menghakimi semua sastra standar yang tunggal , dianggap “universal”.

1.5 Metode Kajian

            Dalam mengkaji makalah ini kami menggunakan referensi buku Beginning Theory oleh Petter Barry (2010 : 223), dan novel Siti Rayati karya Mohammad sanoesi (1923).
            Menurut Patter Barry dalam bukunya Beginning Theory (2010 : 230) bahwa kritik poskolonial memusatkan perhatian pada isu-isu perbedaan budaya dalam teks sastra dan merupakan satu dari sekian pendekatan kritik yang telah dibahas sebelumnya, yang berfokus pada isu khusus termasuk isu gender (kritik feminis), kelas (kritik marxis), da orientasi seksual (kritik gay/lesbian).



            Selain dari pendapat yang dikemukakan oleh Patter Barry kita juga menggunakan pendapat dari Edward Said dalam membahas poskolonial. Edwar W.Said yang dengan lantang mengkeritik hegemoni barat dengan timur lewat gagasannya, Orientalisme. Said mengkritik kontruksi idiologis barat atas timur dalam karya besarnya, orientalisme, yang terbit pada tahun 1978. Meskipun said bukan orang pertama yang mengkritik barat. Namun, Orientalisme telah menelanjangi kepentingan-kepentingan barat. Orientalisme menjadi narasi terbesar kolonialisme dalam bentuk studi, penulisan dan penciptaan  image mengenai timur.
            Secara sederhana, sebagaimana said mengatakan, orientalisme dapat diartikan sebagai cara memahami dunia timur karena “kekhususannya”, menurut cara pandang dan pengalaman orang-orang eropa.















Bab II

PEMBAHASAN

Poskolonial, dari akar kata post + colonial secara harfiah berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Teori poskolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008 :120).
Menurut Foulcher dan Day (2008:4) postkolonial adalah salah satu kritik sastra yang mengkaji atau menyelidiki karya sastra tentang tanda-tanda atau pengaruh kolonial. Unsur-unsur postkolonial dapat ditemukan dalam karya satra seperti cerpen, puisi, novel dan drama.
Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya, Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra (2008:81-82) mengemukakan lima pokok pengertian postkolonial, yaitu
a.       menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial,
b.      memiliki kaitan erat dengan nasionalisme,
c.       memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah, sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan,
d.      membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis, dan
e.       bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.






Kritik poskolonial muncul sebagai kategori yang berbeda barupa pada tahun 1990an. Misalnya saja, ia tidak disebutkan di edisi pertama A Reader’s Guide To Contemporary Literar-nya Selden (1987) atau A Concise Glossary Of Contenporary Literary-nya Jeremy Hawthorn (1992). Kritik poskolonial memeroleh ketenaranya melalui pengaruh buku-buku seperti : In Other World (Gayatri Spivak, 19897); The Empire Writes Back (Bill Ashcroft, 1989);  Nation And Narration (Homi Bhabha, 1990); dan Culture And Imprealism (Edward Said, 1993). Koleksi penting dari esai-esai yang relevan (walau tidak menggunakan istilah “Poskolonialisme”) adalah “Race”, Writting And Difference (1986), dicetak ulang dari dua terbitan jurnal Critical Inquiry, dan diedit oleh Henry Louis Gates, Jr, salah satu dari sosok-sosok amerika yang terbaik dibidangnya.
Efek penting dari kritik poskolonial adalah lebih lanjut merongrong pernyataan universal yang dulu dibuat atas nama sastra oleh kritikus humanis liberal. Jika kita menyatakan bahwa sastra bias rmemiliki makna yang tanpa batas waktu dan universal, maka kita menurunkan kedudukan dan mengabaikan perbedaan kultural, sosial, regional, dan nasional dalam hal pengalaman dan pandangan. Sehingga kita lebih menghakimi semua sastra dengan standar yang tunggal, dianggap “Universal”. Jadi, misalnya pernyataan rutin tentang latar ”Wessex” dalam novel Hardy adalah latar tersebut merupakan kanvas tempat Hardy menggambarkan, menelaah aspek-aspek mendasar dan universal dari kondisi manusia. Jadi buku-buku Hardy tidak dianggap sebagai novel-novel yang secara khusus bersifat regional, historis atau maskulin, atau putih atau kelas pekerja mereka hanyalah novel-novel, dan dibangun dengan sikap seperti ini maka mereka menimbulkan asumsi bahwa cara menulis dan mempresentasikan realitas seperti ini merupakan norma yang tidak harus dipertanyakan, sehingga situasi-situasi yang digambarkan didalamnya mewakili semua bentuk interaksi manusia yang mungkin. Universalisme semacam ini ditolak oleh kritikus poskolonial; setiap kali makna universal dinyatakan untuk sebuah karya, pada saat itu pula norma dan praktik putih, Eropa-sentrik sedang dipromosikan oleh tangan gaib ke status yang tinggi, dan semua yang lainya secara berhubungan diturunkan keperan pembantu dan pinggiran.

Nenek moyang kritik poskolonial dapat dilacak ke Wretched Of The Earth-Nya Frantz Fanon, diterbitkan di prancis pada tahun 1961, dan menyuarakan yang disebut “Perlawanan Kultural” terhadap imperium-nya Prancis. Fanon (seorang psikiater dari Martinique) berargumen bahwa langkah pertama bagi orang yang terjajah untuk mendapatkan suara identitas adalah dengan menuntut ulang masa lalu mereka. Selama berabad-abad kekuasaan Eropa yang menjajah telah merendahkan masa lalu mereka, memandang periode prakolonialnya sebagai tempat orang buangan pra-peradaban, atau sebagai ruangan kosong prasejarah. Anak-anak, baik hitam maupun putih, akan belajar untuk melihat bahwa sejarah, budaya, dan kemajuan dimulai dari pandangan orang-orang Eropa. Jika langkah pertama menuju perspektif colonial adalah mengklaim kembali masalalu seseorang, maka langkah kedua adalah mengikis ideology kolonialis yang digunakan untuk masalalu tersebut.
Jadi, buku utama lainya, yang dikatakan memulai kritik poskolonial dengan sesuai adalah Orientalism-nya Edward Said(1987), yang merupakan yang merupakan pembedahan spesifikuniversalisme ero-esntrik yang membenarkan baik superiotasnya eropa atau barat dan inferioritasnya non Eropa dan non Barat. Said mengindentifikasi tradisi budaya Eropa ”Orientalisme” yang merupakan cara khusus dan sudah berjalan lama untuk mengidentifikasi Timur sebagai “Liyan” dan inferior terhadap Barat. Orang Timur, kata Said, dalam benak barat bercirikhas“ sebagai diri pengganti, dan bahkan diribawah-tanah”(Literature In The Moderen World, ed. Dennis Walder, hlm.236). Pada hakikat nya ini berarti bahwa Timur menjadi tempat penyimpanan, atau proyek aspek-aspek diri Barat yang tidak mau akui (kekejaman, sensualitas, kemerosotan, kemalasan dan seterusnya). Pada saat yang sama, dan secara paradoks, Timur di pandang sebagai wilayah eksotik, mistik dan menggairahkan yang menakjubkan. Seperti yang dikatan Said, setelah mengutip contoh petugas administrasi colonial pada tahun 1907 tentang kehidupan di Damaskus,”dalam pernyataan-pernyataan seperti itu kita dapat mencatat bahwa ”Orang-orang Arab” atau “Arab” memiliki aura keterpisahan, kejelasan dan konsistensi-dirikolektif yang seakan menghapus setiap jejak Arab perseorangan dengan sejarah-sejarahkehidupan yang dapat dinarasikan.             



Hal-hal yang dilakukan kritikus postkolonial
a.       Menolak klaim universalisme yang dibuat atas nama sastra barat kanon dan mencoba menunjukan keterbatasan pandangan mereka terutama ketidak mampuan umumnya untuk berempati melampaui batas perbedaan budaya dan etnis.
b.      Menelaah representasi budaya-budaya lain dalam sastra sebagai cara meraih ujungnya.
c.       Menunjukan betapa sastra semacam ini sering mengelak dan secara krusial diam terhadap persoalan yang berkaitan dengan kolonialis dan imperialism.
d.      Mengedepankan pertanyaan-pertanyaan tentang perbedaan dan keberanekaragaman budaya dan menelaah sikapnya dalam karya-karya sastra yang relevan.
e.       Merayakan hibriditas dan polivalesi budaya, yaitu situasi tempat individu dan kelompok secara simultan termasuk pada lebih dari satu budaya (misalnya budaya penjajahan, melalui sistem sekolah kolonial dan budaya terjajah, melalui tradisi lokal dan oral).
f.       Mengembangkan perspektif yang tidak hanya dapat diterapkan pada sastra-sastra postkolonial, tempat kondisi keterpinggiran, pluralitas, keliyanan yang tampak dipandang sebagai sumber-sumber energi dan perubahan potensial.









Sebuah novel karangan Mohammad Sanoesi (Cimaragas, Ciamis, 1889 – Jakarta, 8 Oktober 1967) ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat pribumi dari kontrakan ragasirna  pada zaman kolonial belanda. Kebanyakan masyarakat dari kontrakan ragasirna tersebut bekerja sebagai pemtik teh di perkebunan Tuan Steenhart. Tuan steenhart itu memiliki watak yang kasar dan kejam tetapi setelah dia bertemu dengan seorang pekerjanya yang bernama Fatimah siakap dia berubah menjadi baik. Setelah beberapa kali tuan Steenhart bertemu dengan Fatimah dia mulai merasa tertarik dan jatuh hati pada Fatimah.
Hampir setiap hari tuan Steenhart mengirimkan banyak makanan dan uang untuk Fatimah, sejak saat itu Fatimah merasa takut ada sesuatu dibalik kebaikan tuan Steenhart tersebut. Dan ternyata benar, suatu hari ketika tuan Steenhart ke perkebunan tersebut dia menjebak Fatimah lalu melakukan hal-hal yang tidak wajar (memerkosa) terhadap diri Fatimah. Setelah beberapa hari, Fatimah jatuh sakit dan ia tidak bekerja seperti biasanya. Hampir setiap hari selama Fatimah sakit ia diberikan uang dan makanan oleh Tuan Steenhart melalui pembantunya. Setelah merasa baikan Fatimahpun kembali memetik teh. Pada hari pembagian gaji Fatimah sengaja dipanggil paling akhir dan disuruh untuk mengambil gajinya sendiri ke rumah tuan Steenhart. Sebelum ke rumah tuan Steenhart, Fatimah sudah perprasangka tidak enak terhadap dia. Dan ternyata benar saja Fatimah diperkosa untuk kedua kalinya lagi-lagi dia tidak bisa melakukan perlawanan terhadap tuan steenhart.
Setelah hampir dua bulan Fatimah tidak datang bulan, Fatimah merasa tidak enak badan dan melakukan pemeriksaan ke dukun beranak. Ternyata benar dia hamil dan disarankan oleh dukun beranak itu untuk meminta pertanggung jawaban pada orang yang telah menghamilinya. Ketika Fatimah datang menghampiri tuan Steenhart untuk meminta pertanggung jawaban dia malah diusir dan dicampakan. Setelah saat itu dia meninggalkan kontrakan ragasirna dengan keadaan sedih dan sedang mengandung.
Setelah tiba saatnya Fatimah melahirkan diperjalanan, di sebuah saung yang ada di tengah-tengah kebun setelah itu ia meninggalkan anaknya dan ada orang yang menemukan anaknya lalu mengangkatnya sebagai anak. Orang yang mengangkat anak Fatimah itu bukan orang biasa mereka adalah saudagar kaya pada waktu itu. Anak Fatimah diberi nama Siti Rayati karena ditemukan di desa cirayati. Siti Rayati tumbuh dewasa dan sangat pintar. Setelah orang tua angkatnya meninggal dia hidup sendiri dan ditemani oleh pembantunya yang tak lain adalah Ibu kandungnya sendiri (Fatimah). Sebelum ia mengetahui semuanya Siti Rayati menceritakan kisah hidupnya dan ternyata terbukti bahwa Siti Rayati adalah anak Fatimah. Suatu hari Siti Rayati membaca surat kabar bahwa ada seorang warga belanda yang meninggal karena dipukuli warga akibat perbuatan dia yang tidak sopan terhadap warga yang tak lain adalah tuan Steenhart ayah kandungnya sendiri.
Kini Fatimah sudah bertemu kembali dengan anak yang telah dibungnya dan hidup bahagia tanpa gangguan dari tuan Steenhart.

Dari novel Sti Rayati karangan Mohammad Sanoesi ini banyak sekali pendekatan poskolonial mulai dari bahasa yang digunakan dalam percakapan-percakapan dalam novel tersebut menggunakan bahasa sunda, melayu dan juga belanda. Hal itu terbukti pada kutipan :
“Jaya!” manéhna nyalukan jongosna, “coba juragan minta bréndi én bawa dus sigarét.”
            “Bréndi sareng plésna baé juragan?”
“Ya, én bilang sama koki én kebon, wengi ini ulah mulih bisi dateng juragan ti kontrakan Margaluyu.”
Dari kutipan diatas kita bisa mengetahui bahwa hal tersebut terjadi pada zaman kolonial. Dan masih banyak lagi kutipan-kutipan yang menerangkan tentang poskolonial.


















Daftar Pustaka

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory. Yogyakarta : Jalasutra
Sanoesi, Moh. 2013. Siti Rayati. Bandung : Kiblat Buku Utama